Minggu, 16 Februari 2014

8 Gelar Rumah i Kutabuluh Simole




















8 Gelar Rumah i Kutabuluh Simole :

1.Rumah Empat Tandok

2. Rumah Mecu

3. Rumah Tungir

4. Rumah Gendan

5. Rumah Cormin

6. Nini Godang

7. Rumah Sarimunggu

8. Jambor Beringin



Kamis, 30 Januari 2014

Amir Hamzah Perangin-angin


Tengkoe Amir Hamzah yang bernama lengkap Tengkoe Amir Hamzah Pangeran Indra Poetera, atau lebih dikenal hanya dengan nama pena Amir Hamzah (lahir diTanjung Pura, Langkat, Sumatera Timur, Hindia Belanda, 28 Februari 1911 – meninggal di Kwala Begumit, Binjai, Langkat, Indonesia, 20 Maret 1946 pada umur 35 tahun) [a] adalah sastrawan Indonesia angkatan Poedjangga Baroe dan Pahlawan Nasional Indonesia. Lahir dari keluarga bangsawan Melayu Kesultanan Langkat diSumatera Utara, ia dididik di Sumatera dan Jawa. Saat berguru di SMA di Surakarta sekitar 1930, pemuda Amir terlibat dengan gerakan nasionalis dan jatuh cinta dengan seorang teman sekolahnya, Ilik Soendari. Bahkan setelah Amir melanjutkan studinya di sekolah hukum di Batavia (sekarang Jakarta) keduanya tetap dekat, hanya berpisah pada tahun 1937 ketika Amir dipanggil kembali ke Sumatera untuk menikahi putri sultan dan mengambil tanggung jawab di lingkungan keraton. Meskipun tidak bahagia dengan pernikahannya, dia memenuhi tugas kekeratonannya. Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tahun 1945, ia menjabat sebagai wakil pemerintah di Langkat. Namun siapa nyana, pada tahun pertama negara Indonesia yang baru lahir, ia meninggal dalam peristiwa konflik sosial berdarah diSumatera yang disulut oleh faksi dari Partai Komunis Indonesia dan dimakamkan di sebuah kuburan massal.

Amir mulai menulis puisi saat masih remaja: meskipun karya-karyanya tidak bertanggal, yang paling awal diperkirakan telah ditulis ketika ia pertama kali melakukan perjalanan ke Jawa. Menggambarkan pengaruh dari budaya Melayu aslinya, Islam, Kekristenan, dan Sastra Timur, Amir menulis 50 puisi, 18 buah puisi prosa, dan berbagai karya lainnya, termasuk beberapa terjemahan. Pada tahun 1932 ia turut mendirikan majalah sastra Poedjangga Baroe. Setelah kembali ke Sumatera, ia berhenti menulis. Sebagian besar puisi-puisinya diterbitkan dalam dua koleksi, Njanji Soenji (EYD: "Nyanyi Sunyi", 1937) dan Boeah Rindoe (EYD: "Buah Rindu", 1941), awalnya dalam Poedjangga Baroe, kemudian sebagai buku yang diterbitkan.

Puisi-puisi Amir sarat dengan tema cinta dan agama, dan puisinya sering mencerminkan konflik batin yang mendalam. Diksi pilihannya yang menggunakan kata-katabahasa Melayu dan bahasa Jawa dan memperluas struktur tradisional, dipengaruhi oleh kebutuhan untuk ritme dan metrum, serta simbolisme yang berhubungan dengan istilah-istilah tertentu. Karya-karya awalnya berhubungan dengan rasa rindu dan cinta, baik erotis dan ideal, sedangkan karya-karyanya selanjutnya mempunyai makna yang lebih religius. Dari dua koleksinya, Nyanyi Sunyi umumnya dianggap lebih maju. Untuk puisi-puisinya, Amir telah disebut sebagai "Raja Penyair Zaman Poedjangga Baroe" (EYD:"Raja Penyair Zaman Pujangga Baru") dan satu-satunya penyair Indonesia berkelas internasional dari era pra-Revolusi Nasional Indonesia.[1]

Amir lahir dengan nama Tengkoe Amir di Tanjung Pura, Langkat, Sumatera Utara, putra bungsu dari Wakil Sultan Tengkoe Moehammad Adil dan istri ketiganya, Tengkoe Mahdjiwa. Tengkoe Moehammad Adil merupakan Wakil Sultan untuk Luhak Langkat Hulu yang berkedudukan di Binjai. Berdasarkan silsilah keluarga istana Kesultanan Langkat, Amir Hamzah adalah generasi ke-10 dari Sultan Langkat. Melalui ayahnya, ia terkait dengan Sultan Langkat kala itu, Machmoed. Kepastian tanggal lahir Amir diperdebatkan, tanggal resmi yang diakui oleh pemerintah Indonesia adalah 28 Februari 1911, tanggal yang digunakan Amir sepanjang hidupnya. Namun kakaknya, Abdoellah Hod menyatakan bahwa Amir lahir pada tanggal 11 Februari 1911. Amir kemudian mengambil nama kakeknya, Tengkoe Hamzah, sebagai nama keduanya; sehingga ia disebut sebagai Amir Hamzah. Meskipun seorang anak bangsawan, dia sering bergaul dalam lingkungan non-bangsawan.[2] Amir Hamzah menghabiskan masa kecil di kampung halamannya. Oleh teman sepermainannya, Amir kecil biasa dipanggil dengan sebutan "Tengku Busu" ("tengku yang bungsu"). Said Hoesny, sahabat Amir di masa kecilnya menggambarkan bahwa Amir adalah anak manis yang menjadi kesayangan semua orang.
Masa kecil[sunting | sunting sumber]

Diketahui bahwa Amir dididik dalam prinsip-prinsip Islam, seperti mengaji, fikih, dan tauhid, dan belajar di Masjid Azizi di Tanjung Pura dari usia muda.[3] Dia tetap seorang Muslim yang taat sepanjang hidupnya. Periode di mana ia menyelesaikan studi formal juga diperdebatkan. Beberapa sumber, termasuk pusat bahasa pemerintah Indonesia, menyatakan bahwa ia mulai bersekolah pada tahun 1916,[4]sementara biografer M. Lah Husny menulis bahwa tahun pertama sekolah formal penyair ini adalah pada tahun 1918.[5] Di sekolah dasar berbahasa Belanda di mana Amir pertama kali belajar, ia mulai menulis[6] dan mendapat penilaian-penilaian yang bagus; [7] dalam biografi yang ditulisnya tentang Amir, penulis Nh. Dini menulis bahwa Amir dijuluki "abang" oleh teman-teman sekelasnya karena ia jauh lebih tinggi daripada mereka.[3]

Pada tahun 1924[8]atau 1925,[9] Amir lulus dari sekolah dasarnya di Langkat dan pindah ke Medan untuk belajar di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO, sekolah menengah pertama) di sana.[10] Setelah menyelesaikan studinya sekitar dua tahun kemudian, ia memasuki hubungan formal dengan sepupunya dari pihak ibunya, Aja[b] Bun.[11] Husny menulis bahwa keduanya sengaja dipertemukan dan dijodohkan untuk menikah oleh orang tua mereka,[12] namun Dini menganggap hubungan tersebut sebagai sumpah untuk menjadi selalu setia.[13] Karena orang tuanya mengizinkannya untuk menyelesaikan studinya di Jawa, Amir kemudian pergi ke ibukota kolonialHindia Belanda di Batavia (sekarang Jakarta) untuk menyelesaikan studinya.[12]
Belajar di Jawa[sunting | sunting sumber]

Amir pergi ke Pulau Jawa sendirian, dalam perjalanan di laut selama tiga hari di kapal Plancus.[14][15] Setelah tiba di Batavia, ia masuk di Christelijk MULO Menjangan, di mana ia menyelesaikan tahun SMP terakhirnya.[12]Anthony H. Johns dari Australian National University menulis bahwa di sekolah ini Amir mempelajari beberapa konsep dan nilai-nilai Kekristenan.[16] Di Batavia, Amir juga terlibat dalam organisasi sosial Jong Sumatera.[17] Saat periode ini pemuda Amir menulis puisi pertamanya. Husny menulis bahwa Amir patah hati setelah menemukan Aja Bun telah menikah dengan pria lain tanpa sepengetahuan Amir (mereka berdua tidak pernah berbicara lagi),[18]sementara Dini berpendapat bahwa puisi "Tinggallah " ditulis tidak lama setelah Amir naik kapal Plancus, saat ia sangat rindu dengan ayah bundanya.[19]


Amir mendirikan Poedjangga Baroe dengan Armijn Pane (atas) dan Sutan Takdir Alisjahbana.

Setelah menyelesaikan sekolah menengah dan kepulangan singkat ke Sumatera, Amir melanjutkan sekolahnya ke Algemene Middelbare School (AMS, sekolah menengah atas) yang dioperasikan Boedi Oetomo di Surakarta, Jawa Tengah, di mana ia mempelajari Sastra Timur dan bahasa, termasuk bahasa Jawa, Sansekerta , dan Arab.[20] Lebih suka menyendiri ketimbang hiruk-pikuknya asrama, Amir lebih memilih menyewa kamar di sebuah rumah pribadi yang dimiliki oleh residen Surakarta.[21] Kemudian ia bertemu dengan beberapa orang yang kelak menjadi penulis, termasuk Armijn Pane dan Achdiat Karta Mihardja;[22] mereka segera menemukan bahwa Amir adalah seorang pelajar yang ramah, rajin, dan dengan catatan lengkap dan kamar tidur bersih (selimut dilipat dengan baik, Mihardja kemudian bercerita, bahwa "... lalat jang kesasar akan dapat tergelintjir atasnja"), tetapi juga seorang romantis; cenderung berpikir sedih di bawah cahaya lampu dan mengisolasi diri dari teman-teman sekelasnya.[23]

Di Surakarta Amir bergabung dengan gerakan nasionalis. Dia akan bertemu dengan sesama perantau dari Sumatera dan mendiskusikan masalah sosial rakyat Melayu Nusantara di bawah kekuasaan kolonial Belanda. Meskipun pemuda berpendidikan kala itu pada umumnya lebih memilih berbicara menggunakan bahasa Belanda, dia bersikeras bercakap dengan bahasa Melayu.[24] Tahun 1930 Amir menjadi kepala cabang dari Indonesia Moeda di Surakarta, menyampaikan pidatonya dalam Kongres Pemuda 1930 dan mengabdi sebagai editor majalah organisasi itu, "Garoeda Merapi".[25] Di sekolah dia kemudian bertemu dan jatuh cinta dengan Ilik Soendari, seorang gadis Jawa yang hampir seusia dengannya.[26] Soendari, putri Raden Mas Koesoemodihardjo, adalah salah satu dari sedikit siswa perempuan di sekolah tersebut, dan rumahnya berada di dekat salah satu yang pernah ditinggali Amir. Menurut Dini, keduanya semakin dekat, Amir mengajari Soendari bahasa Arab, dan Soendari mengajarinya bahasa Jawa.[27] Mereka segera bertemu setiap hari, bercakap-cakap tentang berbagai topik.[28]

Ibunda Amir meninggal pada tahun 1931, dan ayahnya setahun setelahnya; pendidikan Amir pun tidak bisa dibiayai lagi. Setelah studi AMS-nya rampung, ia ingin terus belajar di sekolah hukum di Batavia. Karena itu, ia menulis kepada saudaranya, Jakfar yang mengatur agar biaya sisa studinya dibayar oleh Sultan Langkat. Pada tahun 1932 Amir mampu kembali ke Batavia dan memulai studi hukumnya,[29] mengambil pekerjaan paruh waktu sebagai guru.[30] Pada awalnya, hubungannya dengan Soendari dilanjutkan melalui surat, meskipun Soendari segera melanjutkan studinya di Lembang, sebuah kota yang jauh lebih dekat jaraknya ke Batavia daripada Surakarta, hal ini memungkinkan keduanya untuk bertemu diam-diam[31] – ketika orangtua Soendari mengetahui hubungan mereka, Amir dan Soendari pun dilarang untuk bertemu.[32]

Tahun tersebut, dua puisi pertama Amir, "Soenji" (EYD":"Sunyi") dan "Maboek ..." (EYD:"Mabuk"), diterbitkan dalam edisi Maret majalah Timboel. Delapan karyanya yang lain dipublikasikan tahun itu, termasuk sebuah syair berdasarkan Hikayat Hang Tuah,[33] tiga puisi lainnya, dua potong puisi prosa, dan dua cerita pendek; puisi itu kembali diterbitkan dalam Timboel, sementara prosa tersebut terbit dalam majalah Pandji Poestaka.[34] Sekitar September 1932 Armijn Pane, atas dorongan dari Sutan Takdir Alisjahbana, editor rubrik "Memadjoekan Sastera " (EYD:"Memajukan Sastra ", rubrik sastra Pandji Poestaka), mengundang Amir untuk membantu mereka mendirikan majalah sastra independen.[35] Amir menerima, dan ditugasi menulis surat untuk meminta kiriman tulisan.[35] Sejumlah lima puluh surat dikirimkan Amir kepada penulis-penulis yang sudah dikenal kala itu, termasuk empat puluh dikirimkan ke para kontributor "Memadjoekan Sastera".[36] Setelah beberapa bulan persiapan, edisi awal diterbitkan pada bulan Juli tahun 1933,[37] dengan judul Poedjangga Baroe. Majalah baru ini ada di bawah kendali editorial Armijn dan Alisjahbana,[38] sementara Amir menerbitkan hampir semua tulisan-tulisannya yang berikutnya di sana.[34]

Pada pertengahan 1933 Amir dipanggil kembali ke Langkat, di mana Sultan Langkat memberitahukan dua syarat yang harus Amir penuhi untuk melanjutkan studinya, yaitu menjadi siswa yang rajin, dan meninggalkan gerakan kemerdekaan Indonesia.[39] Meskipun menghadapi penolakan Sultan Langkat, Amir menjadi terlibat lebih jauh dalam gerakan nasionalis, membawa dia ke bawah pengawasan Belanda yang semakin meningkat.[40] Ia terus melanjutkan untuk menerbitkan karyanya dalam Poedjangga Baroe, termasuk serangkaian lima artikel tentang Sastra Timur dari bulan Juni sampai Desember 1934 dan terjemahan dari Bhagawad Gita dari 1933 sampai 1935.[34] Namun studi hukumnya menjadi tertunda, bahkan belum merampungkan studinya pada tahun 1937.[41]
Kembali ke Langkat[sunting | sunting sumber]






Amir dan Kamiliah di upacara pernikahan mereka, 1937.





Hajat Soedirdjo (kiri), Amir Hamzah (tengah), dan Mohammad Lawit (kanan); foto diambil tahun 1932.

Belanda, khawatir tentang kecenderungan nasionalistik Amir, meyakinkan Sultan Langkat untuk menarik dia kembali ke Langkat; sebuah perintah yang tidak dapat ditolak oleh penyair pemula Amir. Tahun 1937, Amir bersama dengan dua pengikut Sultan Langkat yang bertugas mengawal dia, naik di kapal Opten Noort dari Tanjung Priokdan kembali ke Sumatera. Setelah tiba di Langkat, ia diberitahu bahwa ia akan menikah dengan putri tertua Sultan Langkat, Tengkoe Poeteri Kamiliah, seorang wanita yang hampir tak pernah ia temui sebelumnya.[41] Sebelum pernikahannya, Amir kembali ke Batavia untuk menghadapi ujian kuliah terakhirnya – dan mengatur sebuah pertemuan terakhir dengan Soendari.[42] Beberapa minggu kemudian ia kembali ke Langkat, di mana ia dan Kamiliah menikah dalam sebuah upacara mewah.[41]Sepupunya, Tengkoe Boerhan, kemudian menyatakan bahwa ketidakpedulian Amir sepanjang upacara adat tujuh hari tersebut adalah karena Amir terus memikirkan Soendari.[43]

Sekarang seorang pangeran di Langkat Hilir,[41] Amir diberi gelar Tengkoe Pangeran Indra Poetera.[44] Dia tinggal bersama Kamiliah di rumah mereka sendiri. Dalam semua kesaksian, Kamiliah adalah seorang istri yang taat dan penuh kasih, dan pada tahun 1939 pasangan ini memiliki anak tunggal mereka, seorang putri bernama Tengkoe Tahoera.[c] [45]

Menurut Dini, Amir mengaku pada Kamiliah bahwa dia tidak pernah bisa mencintainya karena ia telah memiliki Soendari, dan bahwa ia merasa berkewajiban untuk menikahinya, pengakuan yang kabarnya diterima oleh Kamiliah. Amir menyimpan sebuah album dengan foto-foto Soendari, kekasih Jawanya di rumahnya [46] dan sering mengisolasi dirinya dari keluarganya, tenggelam dalam pikirannya.[47] Sebagai seorang pangeran Langkat, Amir menjadi seorang pejabat keraton, menangani masalah administrasi dan hukum, dan kadang-kadang juga menghakimi kasus pidana.[48] Ia sempat mewakili Kesultanan Langkat di pemakaman Pakubuwono X di Jawa pada tahun 1939 – sebuah perjalanan terakhir Amir ke pulau Jawa.[49]

Meskipun Amir hanya melakukan sedikit korespondensi dengan teman-temannya di Jawa,[50] puisi-puisinya yang sebagian besar ditulis di Jawa terus diterbitkan dalamPoedjangga Baroe. Koleksi puisi pertamanya, Njanji Soenji, diterbitkan dalam edisi November 1937. Hampir dua tahun kemudian, pada Juni 1939, majalah tersebut menerbitkan kumpulan puisi yang telah diterjemahkan Amir, berjudul Setanggi Timoer ("Dupa dari Timur"). Pada Juni 1941, koleksi terakhirnya, Boeah Rindoe, diterbitkan.[34] Semuanya kemudian diterbitkan sebagai buku.[51] Sebuah buku terakhir, Sastera Melajoe Lama dan Radja-Radjanja (EYD:"Sastra Melayu Lama dan Raja-Rajanya"), diterbitkan di Medan pada tahun 1942, terbitan ini didasarkan pada pidato radio yang disampaikan Amir.[34]

Setelah invasi Jerman ke Belanda pada tahun 1940, pemerintah Hindia Belanda mulai mempersiapkan diri untuk kemungkinan invasi Jepang. Di Langkat, divisi Stadswacht(Angkatan Garda) dibentuk untuk membela Tanjung Pura di Langkat. Amir dan sepupunya Tengkoe Haroen bertanggung jawab atas angkatan garda ini; kaum bangsawan, dipercaya oleh masyarakat umum, dipilih untuk memastikan perekrutan rakyat jelata yang lebih mudah. Ketika invasi Jepang menjadi kenyataan pada awal tahun 1942, Amir adalah salah satu tentara yang dikirim ke Medan untuk mempertahankannya. Dia dan pasukan lainnya yang bersekutu dengan Belanda dengan cepat ditangkap oleh Tentara Jepang. Dia ditahan sebagai tawanan perang sampai tahun 1943, ketika pengaruh dari Sultan memungkinkan dia untuk dibebaskan. Sepanjang sisa masa pendudukan yang berlangsung sampai 1945 tersebut, Amir bekerja sebagai komentator radio dan sensor di Medan.[52] Dalam posisinya sebagai pangeran, ia ditugasi untuk membantu mengumpulkan beras dari petani untuk memberi makan tentara pendudukan Jepang.[50]

Pasca-kemerdekaan dan kematian[sunting | sunting sumber]

Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, keseluruhan Pulau Sumatera dinyatakan sebagai bagian de facto dari negara Republik Indonesia yang baru lahir. Pemerintah pusat menetapkan Teuku Muhammad Hasan sebagai gubernur pertama pulau Sumatera, dan pada 29 Oktober 1945 Hasan memilih Amir sebagai wakil pemerintah Republik Indonesia di Langkat (di kemudian hari disamakan dengan bupati), dengan kantornya di Binjai;[53] Amir menerima posisi tersebut dengan siap sedia,[54] kemudian menangani berbagai tugas yang ditetapkan oleh pemerintah pusat, termasuk meresmikan divisi lokal pertama dari Tentara Keamanan Rakjat (yang kelak menjadi Tentara Nasional Indonesia),[53] membuka pertemuan berbagai cabang lokal dari partai politik nasional,[55] dan mempromosikan pendidikan – terutama keaksaraan alfabet Latin.[54]

Revolusi Nasional Indonesia sedang berkobar dengan berbagai pertempuran di Jawa, dan Republik Indonesia yang baru didirikan tidak stabil.[56] Pada awal 1946, rumor menyebar di Langkat bahwa Amir telah terlihat bersantap dengan perwakilan pemerintah Belanda yang kembali ke Sumatera,[57] dan bangsawan daerah menyadari tumbuhnya benih-benih kerusuhan dalam populasi jelata Langkat.[58] Pada tanggal 7 Maret1946 selama revolusi sosialyang dipimpin oleh faksi-faksi dari Partai Komunis Indonesia, sebuah kelompok (Pemuda Sosialis Indonesia) dengan kukuh menentang feodalisme dan kaum bangsawan, kekuasaan Amir dilucuti darinya dan ia ditangkap;[59]sementara Kamiliah dan Tahoera lolos.[60] Bersama dengan anggota-anggota keluarga keraton Langkat yang lain, Amir dikirim ke sebuah perkebunan yang dikuasai faksi Komunis di Kwala Begumit, sekitar 10 kilometer di luar Binjai.[59] Kesaksian yang muncul di kemudian hari menunjukkan bahwa para tahanan tersebut, termasuk Amir, diadili oleh penculik mereka, dipaksa untuk menggali lubang, dan disiksa.[61]

Potongan tulisan Amir terakhir, sebuah fragmen dari puisi 1941-nya Boeah Rindoe, kemudian ditemukan di selnya:[62]

Wahai maut, datanglah engkau
Lepaskan aku dari nestapa
Padamu lagi tempatku berpaut
Disaat ini gelap gulita

Pada pagi hari 20 Maret 1946, Amir tewas dengan 26 orang tahanan lainnya dan dimakamkan di sebuah kuburan massal yang telah digali para tahanan tersebut;[d][63] beberapa saudara Amir juga tewas dalam revolusi tersebut.[64] Setelah dilumpuhkan oleh pasukan nasionalis, pemimpin revolusi tersebut diinterogasi oleh tim yang dipimpin oleh Adnan Kapau Gani; Adnan dilaporkan telah berulang kali menanyakan "Dimana Amir Hamzah?" selama penyelidikan seputar peristiwa tersebut.[65] Pada tahun 1948 sebuah makam di Kwala Begumit digali dan jenazah yang ditemukan diidentifikasi oleh anggota keluarga; tulang belulang Amir berhasil diidentifikasi karena gigi palsuyang hilang.[66] Pada November 1949 jenazahnya dikuburkan di Masjid Azizi di Tanjung Pura, Langkat.[67] Atas jasa-jasanya, Amir Hamzah diangkat menjadi Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan SK Presiden RI Nomor 106/ tahun 1975, tanggal 3 November 1975.
Pengaruh[sunting | sunting sumber]

Amir dibesarkan dalam lingkungan keraton Langkat, di mana ia selalu bercakap dalam bahasa Melayu, sehingga bahasa tersebut telah "... mendjadi darah daging baginja." (EYD:"menjadi darah dan daging baginya").[68] Sejak usia muda ia telah diperkenalkan pada sastra lisan, pantun tertulis dan syair, baik mendengarkan maupun menciptakannya sendiri dengan improvisasi.[69] Seperti ayahnya sebelum dia, Amir menggemari tulisan Melayu tradisional, seperti Hikayat Hang Tuah, Syair Siti Zubaidah Perang Cina, dan Hikayat Panca Tanderan. Dia akan mendengarkan tulisan-tulisan tersebut ketika dibacakan dalam upacara umum, [68] dan setelah dewasa ia menyimpan koleksi besar tulisan tersebut, meskipun koleksinya tersebut hancur saat revolusi komunis Sumatera Timur yang merenggut nyawanya.[69]

Sepanjang pendidikan formalnya Amir membaca karya sastra Arab, Persia, dan sastra Hindu.[70] Ia juga dipengaruhi oleh karya-karya dari negara-negara Timur lainnya:[71] puisi-puisi terjemahan dalam Setanggi Timoermisalnya, memasukkan karya-karya Umar Khayyām (Persia), Du Fu (China), Fukuda Chiyo-ni (Jepang), dan Rabindranath Tagore (India).[34] Karya-karya ini tidak dibacanya dalam bahasa aslinya, tetapi dalam terjemahan berbahasa Belanda.[72] Kritikus sastra Muhammad Balfas menulis bahwa, tidak seperti rekan sezamannya, Amir menunjukkan hanya sedikit pengaruh dari soneta dan penyair neo-romantis Belanda, para Tachtigers;[73] Johns menyimpulkan hal yang sama.[74] Namun pakar sastra Australia Keith Foulcher mencatat bahwa penyair dikutip "Lenteavond" dari Willem Kloos dalam artikelnya tentang pantun, menunjukkan bahwa Amir sangat mungkin dipengaruhi oleh Tachtigers.[75]




Ilik Soendari, dalam foto yang diambil sendiri oleh Amir; dia telah banyak disebut sebagai sumber inspirasi Amir.

Banyak penulis telah berkomentar tentang pengaruh yang didapat Amir dari doktrin Islam. Pencatat sastra Indonesia H.B. Jassin[76] dan penyair Arief Bagus Prasetyo,[77]adalah termasuk dari beberapa yang berpendapat bahwa Amir adalah seorang Muslim ortodoks murni, dan itu ditunjukkan dalam karyanya. Prasetyo berpendapat bahwa hal ini terlihat jelas dalam perkataan Amir tentang Tuhan, ia tidak memandang Tuhan sebagai sesamanya, sebuah tema yang ditemukan dalam karya penyair sufi sepertiHamzah Fansuri, tetapi sebagai tuan untuk hamba Amir.[77] Johns menulis bahwa, meskipun Amir bukanlah seorang mistik, Amir juga bukan seorang penulis renungan murni, namun mempromosikan suatu bentuk "Humanisme Islam".[78] Pengamat lain, seperti pakar sastra Indonesia dari Belanda, A. Teeuw dan pakar sastra IndonesiaAbdul Hadi WM berpendapat bahwa Amir dipengaruhi oleh Sufisme.[77] Aprinus Salam dari Universitas Gadjah Mada, dari posisi yang sama, menunjuk ke contoh di mana Hamzah memperlakukan Tuhan sebagai kekasih sebagai indikasi pengaruh Sufi.[79] Pada akhirnya, penyair Chairil Anwar menulis bahwa Nyanyi Sunyi karya Amir bisa disebut "puisi terselubung" karena pembaca tidak dapat memahami karya Amir tanpa pengetahuan tentang sejarah Melayu dan Islam.[80]

Beberapa upaya juga telah dilakukan untuk menghubungkan karya Amir dengan perspektif Kekristenan. Dalam menganalisa "Padamu Jua", kritikus Indonesia Bakri Siregar menunjukkan bahwa beberapa pengaruh dari Alkitab Kristen dapat ditemukan, menunjuk ke beberapa aspek dari puisi yang tampaknya mendukung pandangan tersebut, termasuk penggambaran Tuhan yang antropomorfik (tidak diperbolehkan dalam Islam ortodoks) dan pandangan tentang Tuhan yang cemburu. Dia menulis bahwa konsep tentang Tuhan yang cemburu tidak ditemukan dalam Islam, tetapi dalam Alkitab, mengutip Keluaran 20:5 dan Keluaran 34:14.[81] Dalam puisi lain, "Permainanmu", Hamzah menggunakan kalimat "Kau keraskan kalbunya", Jassin menarik kesejajaran dengan Tuhan yang mengeraskan hati Firaun dalam Kitab Keluaran.[e][82]

Jassin menulis bahwa puisi Amir juga dipengaruhi oleh cintanya pada satu atau lebih wanita, dalam Buah Rindu disebut sebagai "Tedja" dan "Sendari-Dewi", Jassin beropini bahwa wanita (satu atau lebih) tak pernah disebutkan namanya karena cinta Amir pada mereka adalah kunci.[83] Husny menulis bahwa setidaknya sembilan karya di Buah rindu[f] terinspirasi oleh kerinduannya untuk Aja Bun, menggambarkan rasa kecewa setelah pertunangan mereka dibatalkan.[84] Mengenai dedikasi tiga-bagian dalam buku tersebut, "Kebawah peduka Indonesia-Raya / Kebawah debu Ibu-Ratu / Kebawah kaki Sendari-Dewi",[g][85] Mihardja menulis bahwa Soendari telah dikenali setiap teman sekelas Amir, ia menganggap Soendari sebagai inspirasi Amir, layaknya "Laura terhadap Petrarch, Mathilde terhadap Jacques Perk".[86] KritikusZuber Usman juga menemukan pengaruh Soendari pada Nyanyi Sunyi, berpendapat bahwa perpisahan Amir dari Soendari membawa Amir lebih dekat dengan Tuhan,[87] sebuah pendapat yang diulang oleh Dini.[88] Burton Raffel menghubungkan sebuah kuplet di akhir buku, membaca "Sunting Sanggul melayah rendah / sekaki sajak seni sedih"[89] ("sebuah bunga mengambang di simpul rambut longgar / melahirkan puisi sedih saya") sebagai panggilan untuk sebuah cinta terlarang.[90] Dini berpendapat bahwa cinta Amir pada Soendari menyebabkan penggunaan istilah Jawa yang sering dalam tulisan Amir.[43]
Karya sastra[sunting | sunting sumber]

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Daftar karya Amir Hamzah




Sampul Poedjangga Baroe tahun 1937, majalah yang menerbitkan sebagian besar karya Amir.

Secara keseluruhan Amir telah menulis lima puluh puisi, delapan belas potongan puisi prosa, dua belas artikel, empat cerita pendek, tiga koleksi puisi, dan satu buku karya asli. Dia juga menerjemahkan empat puluh empat puisi, satu bagian dari puisi prosa, dan satu buku;[34] Johns menulis bahwa terjemahan ini umumnya mencerminkan tema penting dalam karya-karya aslinya.[91]

Sebagian besar tulisan Amir diterbitkan dalam Poedjangga Baroe, meskipun beberapa karya sebelumnya diterbitkan dalam Timboel dan Pandji Poestaka.[34] Tidak ada karya kreatif-nya yang bertanggal, dan tidak ada konsensus mengenai kapan setiap individual puisi ditulis.[92] Meskipun demikian, terdapat konsensus umum bahwa karya-karya yang termasuk dalam Nyanyi Sunyi ditulis setelah karya yang termasuk dalam Buah Rindu, meskipun Buah rindu diterbitkan terakhir.[93] Johns menulis bahwa puisi dalam koleksi tersebut muncul seperti diatur dalam urutan kronologis, ia menunjuk ke berbagai tingkat kematangan yang ditunjukkan Amir kala tulisannya berkembang.[94]

Jassin menulis bahwa Amir mempertahankan identitas Melayu di seluruh karya-karyanya, meskipun menghadiri sekolah yang dikelola oleh orang Eropa. Berbeda dengan karya-karya rekan sezamannya, Alisjahbana atau Sanusi Pane, puisi-puisi Amir tidak memasukkan simbol-simbol modernitas Eropa seperti listrik, kereta api, telepon, dan mesin, yang memungkinkan "Alam dunia Melaju masih utuh..." dalam puisinya. Pada akhirnya, ketika membaca puisi Amir, "Membatja sadjaknja diruang fantasi kita tidak terbajang lukisan seorang jang berpantalon, berdjas dan berdasi, melainkan seorang muda jang berpakaian setjara Melaju." ("dalam imajinasi kita tidak melihat seorang pria bercelana, jaket, dan dasi, namun pemuda dalam pakaian tradisional Melayu".[95] Mihardja mencatat bahwa Amir menulis karya-karyanya pada saat teman-teman sekelas mereka, dan banyak penyair lain, "... mentjurahkan isi hati dan buah pikiran" ("mencurahkan hati atau pikiran mereka") dalam bahasa Belanda, atau jika "... melepaskan dirinja dari belenggu Bahasa Belanda" ("mampu membebaskan diri dari belenggu Bahasa Belanda"), dalam bahasa lokal Nusantara.[96]

Karya Amir sering berurusan dengan cinta (baik erotis dan ideal), dengan pengaruh agama ditunjukkan dalam banyak puisinya.[73] Mistisisme adalah penting dalam banyak karyanya, dan puisinya sering mencerminkan konflik batin yang mendalam.[97] Pada setidaknya satu cerita pendek, ia mengkritik pandangan tradisional bangsawan dan "merongrong representasi tradisional karakter wanita".[98] Ada beberapa perbedaan tematik di antara dua koleksi puisi aslinya,[99] dibahas lebih lanjut di bawah ini.
Njanji Soenji[sunting | sunting sumber]

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Njanji Soenji

Njanji Soenji (EYD:"Nyanyi Sunyi"), koleksi puisi pertama Amir, diterbitkan dalam Poedjangga Baroe edisi bulan November 1937,[100] kemudian diterbitkan sebagai buku oleh Poestaka Rakjat pada tahun 1938.[51] Koleksi ini terdiri dari dua puluh empat potong puisi berjudul dan sajak empat baris tanpa judul,[101] termasuk puisi Hamzah paling terkenal, "Padamu Jua". Jassin mengklasifikasikan delapan karya-karya ini sebagai puisi prosa, dengan tiga belas yang tersisa sebagai puisi biasa.[100] Meskipun ini adalah koleksi pertamanya yang diterbitkan, berdasarkan watak dan pembawaan yang baik dalam puisi ini,[102] konsensus umum adalah bahwa karya-karya dalam Buah Rindu di ditulis sebelumnya.[103] Penyair Laurens Koster Bohang menganggap puisi-puisi dalam Nyanyi Sunyi termasuk yang ditulis antara 1933 dan 1937,[104] sementara Teeuw menanggali puisi tersebut antara tahun 1936 dan 1937.[105]

Pembacaan Nyanyi Sunyi cenderung fokus pada nada-nada agama. Menurut Balfas, agama dan Tuhan terlihat di mana-mana di seluruh koleksi tersebut, dimulai dengan puisi pertama "Padamu Jua".[106] Jassin menulis, di dalamnya, Amir menunjukkan perasaan ketidakpuasan atas kurangnya kemampuan dirinya dan memprotes kemutlakan Tuhan,[107] tetapi nampak menyadari kecilnya dirinya di hadapan Tuhan, bertindak sebagai boneka untuk kehendak Tuhan.[108] Teeuw merangkum bahwa Amir mengakui bahwa ia tidak akan ada jika Tuhan tidak ada.[109] Jassin menemukan bahwa tema agama tersebut dimaksudkan sebagai sebuah pelarian dari penderitaan duniawi Amir.[110] Namun Johns menunjukkan bahwa pada akhirnya Amir menemukan sedikit penghiburan dalam Tuhan, karena Amir "tidak memiliki iman transenden yang dapat membuat sebuah pengorbanan besar, dan dengan tegas menerima konsekuensinya"; sebaliknya, ia nampak menyesali pilihannya untuk kembali ke Sumatera dan kemudian memberontak melawan Tuhan.[111]
Boeah Rindoe[sunting | sunting sumber]

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Boeah Rindoe

Koleksi puisi kedua Amir, Boeah Rindoe (EYD:"Buah Rindu"), diterbitkan dalam Poedjangga Baroe edisi Juni 1941,[112] kemudian diterbitkan sebagai buku oleh Poestaka Rakjat di akhir tahun itu.[51] Koleksi ini terdiri dari dua puluh lima puisi berjudul dan sajak empat baris tanpa judul; satu, "Buah Rindu", terdiri dari empat bagian, sementara yang lain, "Bonda", terdiri dari dua. Setidaknya sebelas karya dalam koleksi ini telah dipublikasikan sebelumnya, baik di Timboel atau dalam Pandji Poestaka.[112] Koleksi ini, meskipun diterbitkan setelah Nyanyi Sunyi, umumnya dianggap telah ditulis sebelumnya.[103] Puisi-puisi dalam Buah Rindu juga bertanggal di periode antara 1928 dan 1935, tahun-tahun pertama Amir di Jawa;[104] Koleksi ini memberikan dua tahun tersebut, serta lokasi penulisannya, yaitu di Jakarta-Solo (Surakarta) -Jakarta.[17]

Teeuw menulis bahwa koleksi ini disatukan oleh sebuah tema kerinduan,[113] yang diperluas oleh Jassin: merindukan ibunya, merindukan kekasihnya (baik satu yang di Sumatera dan satu yang di Jawa), dan kerinduan untuk tanah airnya. Semua yang disebutnya sebagai "kekasih".[114] Teeuw menulis bahwa kerinduan ini tidak seperti nuansa religius dalam Nyanyi Sunyi: mereka lebih duniawi, didasarkan pada realitas;[99] Jassin mencatat perbedaan tematik lain di antara keduanya: tidak seperti Nyanyi Sunyi, dengan penggambaran yang jelas dari tuhan yang satu, Buah Rindu dengan eksplisit mengedepankan beberapa dewa, termasuk dewa Hindu, Dewa Siwa dan DewiParwati dan dewa abstrak seperti dewa dan dewi cinta.[114]
Gaya penulisan[sunting | sunting sumber]

Diksi Amir dipengaruhi oleh kebutuhan untuk ritme dan metrum, serta simbolisme yang berhubungan dengan istilah-istilah tertentu.[115] Diksi yang berhati-hati ini menekankan kata-kata sederhana sebagai unit dasar dan sesekali menggunakan aliterasi dan asonansi.[116] Pada akhirnya dia lebih bebas dalam penggunaan bahasanya ketimbang penyair tradisional:[106] Jennifer Lindsay dan Ying Ying Tan menyororti "daya cipta lisan"-nya, menyuntikkan "kemewahan ekspresi, kemerduan suara dan makna" ke dalam puisinya.[117] Siregar menulis bahwa hasilnya adalah "... permainan kata jang indah."[118] Teeuw menulis bahwa Amir memiliki pemahaman lengkap tentang kekuatan dan kelemahan dari Bahasa Melayu, mencampurkan pengaruh sastra timur dan barat,[116] sementara Johns menulis bahwa "kejeniusannya sebagai seorang penyair terletak dalam kemampuannya yang luar biasa untuk menghidupkan kembali bara puisi Melayu yang kala itu telah terbakar habis, dan untuk menanamkan ke dalam bentuk dan kosakata Melayu tradisional yang kaya, sebuah kesegaran yang tak terduga dan jelas dan kehidupan."[119]

Pilihan kata-kata Amir sangat bergantung pada istilah Bahasa Melayu lama, yang hanya sedikit menggunakan istilah kontemporer. Amir juga banyak meminjam dari bahasa Nusantara lainnya, terutama jawa dan Sunda;[120]pengaruh yang lebih dominan di Nyanyi Sunyi.[121] Dengan demikian, cetakan awal Nyanyi Sunyi dan Buah Rindu disertai dengan catatan kaki yang menjelaskan kata-kata tersebut.[73] Teeuw menulis bahwa puisi-puisi Amir mencakup berbagai klise yang umum dalam pantun yang tidak akan dimengerti oleh pembaca asing.[122] Menurut penerjemah John M. Echols, Amir adalah seorang penulis yang memiliki kepekaan sangat besar, yang "bukan seorang penulis produktif tetapi prosa dan puisinya berada pada tingkat yang sangat tinggi, meskipun karyanya sulit, bahkan bagi orang Indonesia."[97] Echols menyanjung Amir karena menbangkitkan kembali bahasa Melayu, memberikan nafas kehidupan baru ke dalam sastra Melayu pada 1930-an.[123]

Secara struktural, karya-karya awal Amir sangat berbeda dari karya-karyanya di kemudian hari. Karya yang disusun dalam Buah Rindu umumnya mengikuti pantun tradisional dan gaya syair empat baris dengan rima ekor, termasuk banyak dengan kuplet berima;[116] namun beberapa karyanya, menggabungkan keduanya, atau memiliki baris-baris tambahan atau kata-kata lebih dari yang diterima umum secara tradisional, sehingga menghasilkan ritme yang berbeda.[124] Meskipun karya-karya awal Amir tidak sedetail karya-karyanya di kemudian hari, Teeuw menulis bahwa karya-karya tersebut telah mencerminkan penguasaan penyair itu dari bahasa dan dorongan untuk menulis puisi.[125] Karya-karya dalam antologi ini mengulangi istilah-istilah kesedihan seperti "menangis", "duka", "rindu", dan "air mata", serta kata-kata seperti "cinta", "asmara", dan "merantau".[126]

Pada kala Amir menulis karya-karyanya yang kemudian disusun dalam Nyanyi Sunyi, gayanya telah bergeser. Dia tak lagi membatasi dirinya pada bentuk-bentuk tradisional, melainkan menjelajahi kemungkinan-kemungkinan yang berbeda: Delapan karyanya mendekati puisi prosa dalam segi bentuk.[127] Chairil Anwar menggambarkan penggunaan bahasa pendahulunya tersebut dalam koleksi ini sebagai bersih dan murni, dengan kalimat-kalimat "keras, tajam, tetapi singkat" yang berangkat dari "daya rusak" puisi tradisional Melayu yang berbunga-bunga.[128]
Penghargaan dan pengakuan umum[sunting | sunting sumber]

Amir telah menerima pengakuan yang luas dari pemerintah Indonesia, dimulai dengan pengakuan dari pemerintah Sumatera Utara segera setelah kematiannya.[129] Pada tahun 1969 ia secara anumerta dianugerahi Satya Lencana Kebudayaan dan Piagam Anugerah Seni.[130] Pada tahun 1975 ia dinyatakan sebagai salah satu Pahlawan Nasional Indonesia.[131] Sebuah taman dinamakan untuknya, Taman Amir Hamzah, yang berlokasi diJakarta di dekat Monumen Nasional.[70] Sebuah masjid di Taman Ismail Marzuki yang dibuka untuk umum pada tahun 1977, juga dinamakan untuknya.[132] Beberapa jalan diberi nama untuk Amir, termasuk di Medan,[133]Mataram,[134] dan Surabaya.[135]

Teeuw menganggap Amir sebagai satu-satunya penyair Indonesia berkelas internasional dari era sebelum Revolusi Nasional Indonesia.[1] Anwar menulis bahwa penyair ini adalah "puncak gerakan Pudjangga Baru", mengingatNyanyi Sunyi telah menjadi "cahaya terang yang disinarkan dia [Amir] di atas bahasa baru";[128] namun, Anwar tidak menyukai Buah Rindu, menganggapnya terlalu klasik.[136] Balfas menggambarkan karya Amir sebagai "karya sastra terbaik yang mengungguli era mereka".[137] Karya Hamzah, khususnya "Padamu Jua", diajarkan di sekolah-sekolah Indonesia. Karyanya juga salah satu inspirasi untuk drama panggung posmodern 1992 Afrizal Malna, Biografi Yanti setelah 12 Menit.[138]

Jassin telah menyebut Amir "Raja Penyair Zaman Poedjangga Baroe", nama yang dia digunakan sebagai judul bukunya tentang penyair tersebut.[1] Sebagai penutup bukunya tersebut, Jassin menulis:

"... Amir bukanlah seorang pemimpin bersuara lantang mengerahkan rakjat, baik dalam puisi maupun prosanja. Ia adalah seorang perasa dan seorang pengagum, djiwanja mudah tergetar oleh keindahan alam, sendu gembira silih berganti, seluruh sadjaknja bernafaskan kasih : kepada alam, kampung halaman, kepada kembang, kepada kekasih. Dia merindu tak habis2nja, pada zaman jang silam, pada bahagia, pada 'hidup bertentu tudju'. Tak satupun sadjak perdjuangan, sadjak adjakan membangkit tenaga, seperti begitu gemuruh kita dengar dari penjair2 Pudjangga Baru jang lain. Tapi laguan alamnja adalah peresapan jang mesra dari orang jang tak diragukan tjintanja pada tanah airnja."

—H.B. Jassin, Jassin (1962)
Catatan kaki[sunting | sunting sumber]

^ Ada dua versi untuk tanggal lahir ini. Tanggal resmi yang diakui oleh pemerintah Indonesia adalah 28 Februari 1911, tanggal yang digunakan Amir sepanjang hidupnya. Namun kakak Amir, Abdoellah Hod menyatakan bahwa penyair ini lahir pada tanggal 11 Februari 1911. Artikel ini menggunakan tanggal yang paling umum, yaitu yang diakui pemerintah.
^ Atau juga Aje.
^ Kehamilan lain berakhir dengan keguguran (Dini 1981, hal. 113). Dua anak selanjutnya lahir mati (Dini 1981, hal. 122), sedangkan kehamilan terakhir pasangan itu berakhir dengan keguguran setelah kematian Amir.
^ Dilaporkan bahwa Amir dibunuh oleh seorang mantan pengawas yang bernama Yang Wijaya, yang kemudian diadili karena perannya dalam revolusi tersebut dan dihukum dua puluh tahun penjara. Kemudian diberikanamnesti, Wijaya meninggalkan penjara dalam keadaan kesehatan mental yang buruk (Dini 1981, hal. 160–61).
^ Dalam Islam, Firaun mengeraskan sendiri hatinya (Jassin 1962, hal. 36).
^ "Haroem Ramboetmoe", "Dalam Matamoe", "Maboek...", "Soenji", "Koesangka", "Boeah Rindoe", "Toehankoe Apatah Kekal?", "Tjempaka", dan "Berdiri Akoe".
^ dalam versi Indonesia dari Ramayana, Sendari (juga Sundari) adalah istri pertama Abimanyu.

Sumber : http://id.wikipedia.org/

Minggu, 26 Januari 2014

Menelusuri Jejak Batiren Perangin-angin (Pa'Tolong atau Sibayak Kutabuluh)

Siapa Batiren Perangin-angin atau Pa'Tolong?

Batiren Perangin-angin yang lebih dikenal dengan nama Pa'Tolong adalah seorang Raja Karo Kesibayaken Kutabuluh. Dia menjadi terkenal oleh karena ketidak-patuhannya kepada Belanda pada masa itu hingga dia dihukum seumur hidup dan diasingkan ke Sulawesi sampai akhir hayatnya.

Tidak banyak dokumen, Literature atau Tulisan mengenai sejarah hidup Batiren Perangin-angin (Pa'Tolong) yang lebih dikenal sebagai Raja Sibayak Kutabuluh atau Raja Karo dari Kutabuluh.

Saya mencoba mengumpulkan informasi, cerita, sejarah tentang Batiren Perangin-angin (Pa'Tolong) yang dikenal sebagai Raja Karo Sibayak Kutabuluh dari beberapa artikel berikut ini :

Dalam suratnya kepada Raja Portugal bertahunkan 1539 M Pero de Farida mengatakan Aceh telah menyerang Haru sebanyak dua kali, yakni di bulan Januari dan November 1539 M. Cornelius de Houtmandan Frederich de Houtman saat tiba di Aceh tertanggal 21 Juni 1599 mengutarakan beberapa kerajaan besar di Sumatera, diantaranya: Minangkabau, Pedir, Haru, dan Aceh. Di-tahun 1591 M Sultan Johor, Ali Jalal menumpas pasukan Aceh dan berhasil mengalahkanya di Haru yang dimana tahun 1612 M Aceh kembali menyerang balik, dilanjutkan denga serangan di tahun 1624 M yang menjadi titik runtuhnya kerajaan Haru di kawasan pesisir serta takluk kepada Aceh. Dengan demikian, kekuatan Haru hanya tinggal di-kawasan pegunungan Karo saja yang hingga kedatangan Belanda belum bisa ditaklukkan oleh kerajaan-kerajaan lainnya terkhususnya Aceh. Baru di-tahun 1908 M kolonial Belanda berhasil mengalahkan kerajaan Haru terakhir(Haru Kuta Buluh/Kesebayaken Kuta Buluh) dan menjatuhkan hukuman kurungan seumur hidup kepada Sibayak(raja) Haru Kuta Buluh, Sibayak Batiren (Pa Tolong). Dengan demikian seluruh wilayah Haru (Karo) telah takluk!

Hingga memasuki abad ke-19, Belanda mulai melakukan aksinya ke dataran tinggi Karo yang dengan jalan politik, karena Belanda sadar kalau dengan jalan kekerasan Tanah Karo dan rakyat Karo akan sulit untuk ditaklukkan, maka baru ditahun 1908M kolonial Belanda benar-benar berhasil menaklukkan Aru, dimana hal ini ditandai dengan kalahnya kerajaan Aru terakhir, yakni: Kerajaan Aru-Kuta Buluh(Kesebayaken Kuta Buluh) dan menjatuhkan hukuman kurungan seumur hidup kepada Sibayak(raja) Kuta Buluh: Sibayak Batiren Peranginangin (Pa Tolong). Dengan demikian semua wilayah Aru/Haru - Karo telah takluk oleh Belanda.


Pa'Tolong dengan Pa'Mbelgah dan Pa'Pelita

Terkejut dan kelabakan akan sikap yang tidak terduga, Pa Mbelgah memutuskan keluar dari Kabanjahe dan bertamu ke sarang Garamata, di Batukarang. Beliau diterima baik oleh Garamata yang kemudian mengajak untuk sama – sama memerangi gelombang perkebunan Belanda yang mulai menyasar di tanah – tanah pedesaan di Karo Dusun. Genderang perang pun dimulai, dengan tujuan awal mengusir zending Belanda dari Tanah Karo. Tidak mau kalah langkah, Pa Pelita berkonsultasi dengan para zending dan mendapat rekomendasi untuk menjumpai pos Belanda di Siak serta Padang Panjang yang baru saja menumpas perang Paderi. Keinginan Pa Pelita untuk mendatangkan bala bantuan Belanda disanggupi Pemerintah Kolonial dengan menghadirkan beberapa battalion pasukan yang bertugas mengawal Sibayak Lau Cih. Dari Lau Cih bergerak menuju Kabanjahe, pasukan Belanda dan Pa Pelita dihadang oleh Nabung Surbakti, panglima perang Garamata. Kekalahan pun membuat pasukan ini kocar – kacir dan memilih untuk memutar jalan hingga tiba di Kabanjahe. Setibanya di Kabanjahe, konsolidasi pun dilakukan dan dihimpun prajurit Karo hingga berjumlah beberapa ribu orang. Pasukan Karo ini kemudian langsung bergerak menuju Batukarang untuk membalas perbuatan Nabung Surbakti namun lagi – lagi ditengah perjalanan mereka diserang dan mundur kembali ke Kabanjahe. Setibanya pasukan Belanda, dibagikan senapan yang baru serta amunisi berikut strategi berperang yang baru. Pergerakan pasukan yang lebih fokus menjaga perimeter daripada menyebar apabila diserang menjadi lebih tahan serangan mendadak, meski membuat pergerakan mereka terhambat apabila bertempur di wilayah rimba raya. Dengan ciamik, mereka kemudian membalas satu per satu serangan dadakan yang dilakukakan oleh pemberontak dan membakari kampung – kampung yang menolak kristenisasi, menuju Batukarang, sarang sang Mata Merah, Kiras Bangun. Tak lama waktu yang dibutuhkan untuk mengepung Batukarang, dalam 10 hari saja mereka sudah mampu membuat Garamata dan Pa Pelita keluar dari Kampung Batukarang menuju Kutabuluh untuk meminta bantuan Pa Tolong, Batiren Perangin – angin, sang Sibayak Kutabuluh. Meski demikian, tetap saja sejarah mencatat kemenangan berada di tangan pemilik teknologi perang paling muktahir, hingga tertangkapnya lewat intrik Belanda yang sebetulnya ditolak oleh Pa Pelita pada 1904. Garamata dipancing untuk bertemu dalam sebuah pengepungan benteng dan dijanjikan untuk bertemu dengan Pa Pelita agar persoalan pemberontakan ini diselesaikan dengan musyawarah saja, layaknya para pemuka adat Karo. Akan tetapi justru keluarnya Garamata menjadi penangkapan beliau hingga dibuang ke Cianjur Jawa Barat, sedangkan Pa Mbelgah dipulangkan ke Kabanjahe dan hidup terasing di tengah keluarganya sendiri. Seiring tertangkapnya tokoh – tokoh Karo pemerontak, melancarkan Kristenisasi di Tanah Karo dan menyempitkan pergerakan komunitas – komunitas Pemena hingga meredup. Atas jasa – jasa beliau Pa Pelita diangkat menjadi Sibayak Kabanjahe yang diakui kedaulatannya meliputi semua wilayah kesain keluarga Purba dan didirikan untuk pertama kalinya Christianse Kerk tepat di tempat kini yang kini berdiri GBKP Kabanjahe Kota. Bangunan yang sama kemudian ditahbiskan sebagai GBKP pertama berdiri paska sinode pertama pula tahun 1943. Untuk menenangkan amarah orang Batukarang, terutama marga Bangun Bartukarang yang merasa tindakan Pa Pelita menunjukkan jiwa yang tidak besar, contoh yang kurang baik bagi seorang bertitel Sibayak diadakan sebuah musawarah besar. Oleh karenanya diputuskan pemerintahan Belanda agar polemik ini diselesaikan dengan pernikahan seorang Beru Bangun Batukarang dengan marga Purba dari Rumah Selat Kabanjahe. Aksi ini disetujui oleh kedua belah pihak, yang membuat marga Bangun kini menjadi kalimbubu tua marga Purba Rumah Selat, sebuah posisi prestise bagi orang Karo, hingga kini.


Mengenal Karo dari Catatan Sejarah

Karo(Haru) adalah suku asli yang mendiami Sumatera bagian utara dan tengah. Dipercaya, dahulu kala daerah Karo(Haru) ini didiami oleh suku bangsa yang bernenek moyangkan Karo(Haru) yang dikemudian hari diyakini dari nenek moyang Karo inilah lahirnya Merga Silima(Karo-karo, Ginting, Tarigan, Sembiring, dan Peranginangin). Namun, dalam perjalanan suku bangsa Karo ini, terjadi invasi-invasi dari beberapa suku bangsa baik yang memiliki pertalian dekat maupun jauh dengan Karo itu, yang dimana sebahagian besar mereka diindikasikan dari negeri-negeri di Selatan India, seperti: Colay(Cōla), Pandya(Pandyth), Palawa, Teykaman, Muoham, Malaylam, dan Kalingga (Orysa), dll., yang kemudian berbiak, membentuk klan-klan-nya, beradaptasi dengan budaya Karo Tua, kemudian kelompok tersebut merasuk ke Karo itu dan menjadi bagian dari Merga Silima tersebut, atau dengan kata lain menjadi cabang(sub-) merga dari Merga Silima.

Keberadaan suku bangsa Karo ini diyakini sudah ada jauh sebelum abat I(pertama) tahun Masehi, hal ini ditunjukan dengan keberadaan kerajaan Haru-Karo yang dimana diyakini berdirinya sekitar awal-awal tahun Masehi. Haru, merupakan salah satu kerajaan tertua yang pernah berdiri di Pulau Sumatera tapatnya di bagian utara Pulau Sumatera, yang tumbuh dan berkembangnya bersamaan dengan beberapa kerajaan besar di nusantara, seperti: Sriwijaya, Majapahit, Malaka, Johor, dll. Hal ini ditandai dengan adanya interaksi antara Haru dengan kerajaan-kerajaan tersebut, seperti: peperangan, interaksi pelayaran, agama, perdagangan; baik secara langsung maupun yang tersirat dalam bentuk sastra kelasik.

Hipotesa akan eksistensi keberadaan suku bangsa Karo ini sudah ada sebelum memasuki tahun Masehi, dapat disimpulkan dari beberapa tradisi dan catatan sejarah yang ada. Menurut sejarah perkembangan Pemerintahan Kota Madya Daerah TK II Medan, tahun 1925 dan 1926, Vain Stein Callenfels menemukan tumpukan kerang(kjokkenmondinger) dan peralatan manusia pra sejarah berupa serpih bilah(flaked pubbel-tools), lempeng batu, dan alat tumbuk lainnya yang masih sangat kasar di perkebunan tembakau Serintis, Buluh Cina, Tandan Hilir, dll. Selain itu, di beberapa daerah Karo di Deli Sedang, Kab. Karo, Langkat, Gayo, dan Alas juga banyak ditemui gua-gua umang(cakap(bahasa) Karo, umang dipakai untuk menyatakan manusia yang masih primitif, hidup di gua-gua, dan pemakan kerang) yang didalamnya bertuliskan Karo(Aksara Haru). Hal-ini dapat dijadikan sebagai bukti bahwa manusia purba telah hidup di wilayah Karo sekitar 10.000 tahun lalu.

Manusia-manusia purba ini hidup di wilayah Karo sekitar 4.500 – 2.500 SM yang kemudian terdesak(invasi) dan bercampur dengan ras Mongoloid dari daratan Asia 5.000 tahun yang lalu(Adat Karo hal. 15, Darwan Prints). Sehingga para ahli dan pemerhati sejarah Karo menganut teori bahwa suku bangsa Karo merupakan percampuran antara ras Negroid dengan ras Mongoloid.

Brahma Putro dalam bukunya yang berjudul “Karo dari Jaman ke Jaman” mengatakan kalau Haru telah ada pada abad I M dengan raja pertamanya bernama Pa Lagan(kisah kebesaran Pa Lagan ini juga tersirat dalam Babat Sunda dan kitab Manimengelai karya pujangga populer India, Brahma Putro), yang berpusat di Teluk Haru(Langkat). Dan, penyebaran suku Karo ini meliputi keseluruhan wilayah Haru yang secara garis besar meliputi Sumatera bagian utara(termasuk Aceh), timur, dan tengah. Keberadaan suku Karo di Aceh ini dikatakan Brahma Putro dengan adanya kerajaan Haru(Karo) di Aceh dimana dikatakan juga raja Karo terakhir yang pernah berkuasa di Aceh bernama Manang Ginting Suka. Hal ini juga sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh H. Muhamad Said dalam bukunya “Aceh Sepanjang Abad” (1981), yang mengatakan bahwa penduduk asli Aceh Besar adalah keturunan yang mirip Batak(walau tidak secara diteil dijelaskan). H. M. Zainudin dalam bukunya “Tarikh Aceh dan Nusantara”(1961) menuturkan bahwa di lembah Aceh Besar selain kerajaan-kerajaan Islam juga ada berdiri kerajaan Karo, yang dalam logat Aceh disebut Karéé. Dan, beliau juga menambahkan bahwa penduduk asli bumi putra dari XXV Mukim bercampur dengan Karo, dan itu-lah yang disebutkan tadi diatas dengan Karéé.

Dikemudian hari, terjadi persengketaan antara suku Karo dengan kaum Hindu di Aceh, sehingga untuk menyelesaikan pertikaian ini disepakati diadakan perang tanding antara tiga ratus(300) orang suku Karo melawan empat ratus(400) kaum Hindu di sebuah lapangan terbuka. Namun pada akhirnya pertikaian ini berakhir dengan damai, dan sejak saat itu suku Karo di sana disebut kaum tiga ratus atau Kaum Lhee Reutoih dan kaum Hindu disebut kaum empat ratus. Kemudian hari terjadi percampuran antara suku Karo dan kaum Hindu, dan kelompok percampuran ini disebut Kaum Jasandang.

Selain dari pada apa yang telah dikemukakan diatas, keberadaan suku Karo di Aceh juga mendapat konfirmasi dari sejarah kerajaan Nagur(di Sumatera Timur sektar abad ke-5 M) yang juga tersirat dalam sejarah suku bangsa Simalungun, yang dimana diceritakan saat ke-empat raja besar dari Siam dan India hendak mengimvasi wlayah sekitar Aceh dan Langkat(Sumatera Utara) dihadang oleh penduduk suku asli, dan mungkin saja yang dimaksud adalah Haru(Karo). Dan, juga dapat kita lihat dari beberapa nama tempat di Aceh yang sangat identik dengan dialek , bahasa, dan tradisi Karo, seperti: Kuta Raja(sekarang Banda aceh), Kuta Bunjei(Bingei) di Aceh Timur, Kuta Karang, Kuta Alam, Kuta Lubok, Kuta Laksamana Mahmud, Kuta Cané, Belang Kejeren, Belang Bintang, Belang Pidie, Lau Sigalagala, Lau Deski, Lau Perbunga, Lau Kinga, Danau Lau Tawar, Lau Binge, Simpang Simadam, Semelue(mungkin Simalem), dll.

Diyakini, Hindu sudah masuk ke nusantara, juga ke Karo(Haro) di awal-awal tahun Masehi, dimana dipercaya aksara Palawa(wenggi) mulai diperkenalkan bersaman dengan bahasa Sansekerta, dan diikuti oleh Budha lima abad kemudian (abad ke-5 M) bersamaan dengan masuknya aksara Nagari yang diyakini menjadi cikal bakal lahirnya Tulisen Karo(Surat Haru), aksara Melayu Kuno, Jawa Kuno, Batak, dll. Mereka(misionaris zending Hindu) merupakan penganut Senata Dharma. Hal ini didukung dengan ditemukannya sebuah inskripsi pada batu bertulis di Lobu Tua, dekat Barus (pantai barat Sumatera bagian Utara), yang ditemukan oleh G.J.J. Deuts pada tahun1879 M. Tulisan tersebut di tahun 1932 oleh Prof. Nilakantiasastri, guru besar dari Universitas Madras diterjemahkan. Maka, diketahuilah bahwa pada tahun 1080 M, di Lobu Tua tak jauh dari Sungai Singkil ada permukiman pedagang dari India Selatan. Mereka orang Tamil yang menjadi pedagang kapur barus yang menurut tafsiran membawa pegawai dan penjaga-penjaga gudang kira-kira 1. 500 orang. Mereka diyakini berasal dari negeri-negeri di Selatan India, seperti: Colay(Cōla), Pandya(Pandyth), Teykaman, Muoham, Malaylam, dan Kalingga (Orysa). Sekitar tahun 1128-1285 M karen terdesak oleh misi dagang dan siar Islam yang dilakukan serdadu dan pedagang Arab serta Turki(ada beberapa ahli berpendapat jikalau mere terdesak oleh sedadu Jawa, Minang, ataupun Aceh), maka kaum Tamil di Barus mengungsi ke pedalaman Alas dan Gayo (di Kabupaten Aceh Tenggara), dan kemudian mendirikan Kampung Renun. Ada juga yang menyingkir lewat Sungai Cinendang, lalu berbiak di pelosok Karo kemudian mendirikan kuta(kampung) Lingga, serta Sembiring Singombak yang diantaranya: Sembiring Brahmana, Pandia, Colia, Guru Kinayan, Keling, Depari, Pelawi(Pahlawi/Palawa), Bunu Aji, Muham, Busok, Meliala(Maliala/Milala), Maha, Tekang(Teykang), Pande Bayang, dan Kapur. “Bayangkan, bangsa dari negeri yang jauh berlayar ke nusantara dengan peradaban yang tinggi harus berbaur dan mau mengaku Karo demi sebuah kehidupan. Dari hal ini dapat kita asumsikan kalau Haru(Karo) itu adalah tempat yang nyaman bagi seluruh bangsa dan juga telah memilik peradapan yang tinggi pula.”

Menurut tafsiran(berdasarkan data yang ada), kita dapat berasumsi bahwa Bangsa Tamil yang sudah berbiak dan ber-merga di Karo itulah menjadi pelopor dari kepercayaan pemena dan bukan tidak mungkin Pemena sama dengan Senata Dharma yang pernah berkembang di Selatan India, karena jika ditinjau dari segi bahasa, Pemena=pertama, awal, dasar. Bandingkan dengan Senata Dharma yang juga berarti senata = awal, dasar, dll; dharma = ajaran, kepercayaan, dll; jadi, Senata Dharma = kepercayaan(agama) pertama. Jadi, dari segi ini kita sepakat, bukan? Namun, tidak cukup ditinjau dari segi bahasa saja. Ada beberapa tradisi pemena yang sama dengan Senata Dharma, diantaranya: upacara Pakuwaluh(membakar dan menghanyutkan abu jenazah) yang dilakukan di Lau Biang(Lau: sungai, biang: anjing) dengan dimasukkan dalam sebuah guci diatas perahu dengan panjang sekitar satu meter. Mengapa dilakukan di Lau Biang? Dalam tafsiran masyarakat dahulu, Lau Biang yang perpanjanganya adalah Sungai Wampu di Langkat mengalir ke Selat Malaka dan dari sana dengan tuntunan roh-roh akan mengalir ke Samudra Hindia dan selanjutnya akan sampai di Sungai Gangga di India.

Bukan itu saja, banyak tradisi di Karo yang sama dengan kebiasaan masyarakat di Selatan India, antara lain: masyarakat Karo dahulu selalu melakukan doa di malam bulan purnama serta menyanyikan mangmang/tabas(mantra) dengan cara ngerengget seperti para pendeta Hindu melantunkan mantr; Mbesur-besuri, nengget, mbaba anak ku lau, erpangir, ergunting, erkiker(memotong gigi), dll. Dan, dahulu wanita-wanita di Karo juga suka membuat titik merah dikeningnya seperti halnya yang dilakukan wanita-wanita di India(sekarang juga bagi pemeluk kepercayaan pemena).

Dalam hal seni, beberapa tafsiran juga muncul, diantaranya rengget(cengkok) Karo yang hampir sama dengan cara orang India untuk melantuntak mantra, suara sarune(serunai) yang tinggi di Karo yang endekna(cara permainannya) sama seperti teknik vocal wanita di India, serta beberapa perkusi Karo yang juga serupa dengan yang ada di India.

Berdasarkan pada catatan seorang pelaut Cina bernama Fahien yang melakukan perjalanan di tahun 414 M, Haru sudah ada walau tidak dijelaskan letaknya secara pasti. Dan, abad ke-9 M kembali muncul beberapa nama kerajaan seperti: Rami(Lamuri[-di] di Aceh), Balus(Barus), Jahé(Sriwijaya), Melayu, dan Harlanj(Haru/Karo).

Dalam tradisi Karo sendiri, dikatakan Haru berdiri pada tahun 685 M yang berpusat disekitar Teluk Haru(Langkat) dengan rajanya yang pertama bernama Pa Lagan. Dikemudian hari, karena seringnya terjadi peperangan di wilayah-wilayah Haru ini, maka pusat kerajaan mengalami perpindahan ke pedalaman Deli, namun karena saat itu tidak ditemukan kesepakatan akan pusat kerajaan dan kekuasaan maka pada akhirnya kerajaan ini terbagi atas beberapa kerajaan besar dan juga urung-urung. Adapun kerajaan-kerajaan pecahan Haru itu, diantaranya: Kerajaan Haru Mabar, Kerajaan Haru Wampu, Kerajaan Haru Kuta Buluh, Kerajaan Haru Pasé, Kerajaan Haru Lingga Timur Raya, dan Kerajaan Haru Deli Tua.

Tahun 860 M, Kerajaan Haru diserang oleh Sriwijaya(Jahé) di Teluk Haru(Langkat) tetapi tidak berhasil, namun banyak penduduk Haru yang pindah ke Alé(Deli Tua) dan Gugung (pegungungan/dataran tinggi Karo) untuk menghindari peperangan. Pada masa-masa inilah banyak masyarakat Haru(Karo) yang bermigrasi ke pegunungan, sehingga diyakini dimasa ini-lah awal munculnya sebutan kalak jahé(orang hilir) ataupun Karo Jahé(orang Karo dari hilir). Adapun peninggalan serangan Sriwijaya itu ialah para serdadu Sriwijaya yang tertinggal dan tertawan yang kemudian menjadi bagian salah satu dari merga Karo-koro sub-merga Karo-karo Paroka.

Di tahun 1000 – 1449 M di Eropah diketahui setidaknya 12 orang telah menggunakan kata Munthé(Muté) ini dibelakang namanya, salah satunya adalah Ascricus van Munte(1072) dari Vlanderen yang sekarang merupakan wilayah Belgia. Apakah mungkin Munte yang di Sumatera sudah sampai di Belgia di Tahun 1000? Jika kita berpatok pada masa kemunculan kerajaan Haru(Karo), Nagur(Simalungun), dan Padang Lawas serta Pané(Mandailing), ya mungkin saja! Mengingat, setidaknya aktivitas pelayaran internasional di Barus sudah dimulai sejak abad ke-5 M. Bahkan di Norwegia, di abad ke-16 muncul Ludvig Munthe. Mengingat jarak antara Belgia dengan Norwegia yang sangat jauh(…) apakah keluarga Munté Belgia ini sama dengan Munté di Norwegia? Namun, jika ditinjau dari faktor waktu(tahun 1000 – 1500’an) dan geografis hal ini juga sangat memungkinkan terjadi, mengingat pelabuhan Belgia yang berhadapan langsung dengan Laut Norwegia melalui Laut Utara yang diapit kepulauan Britania Raya di barat dan di sebelah timur dikelilingi Belanda, Jerman, dan Denmark. Bahkan, silsilah dari Ludwig Munthe(1593-1649) ini disusun dengan sangat rapih oleh Severre Munthe, dalam buku Familiem Munthe In Norge. Sekitar tahun 1995 diperkirakan jumlah keturunannya lebih lima ratus jiwa. Munthe di Norwegia ini juga mengakui dan menyatakan bahwa Vlanderen(Belgia) adalah tanah asal leluhur mereka ( dokumen terlampir di: http://www.geocities.com/-ascricus/genealogy/surnames.htm | http://www.genealogy.munthe.net/ | http://www.sverre.munthe.net ). Dari cerita diatas, maka timbullah pertanyaan besar: apakah Munthe(Munte) di Belgia, Norwegia, dan wilayah Eropah lainnya mencerminkan atau bahkan satu nenek moyang dengan Munthe yang tersebar di nusantara? Dan, darimanakah alsal Munthe ini sesungguhnya? Ya, itu pertanyaan yang menjadi misteri besar, tetapi setidaknya ada beberapa tradisi yang mendukung keberadaan Munthe itu lebih awal di utara Danau Toba(Karo), yakni: Tradisi Ginting Munthe itu sendiri, yang didukung oleh tradisi Ginting Pasé, Ginting Manik, Karo-karo Sinulingga(tradisi Karo) dan juga tradisi Simalungun(Saragih Munthe dan Dalimunta).

Sebuah cerita menarik, pernah dikatakan seorang Anthrofologi ber-merga Munté yang tinggal di Madagaskar asal Norwegia mengunjungi Kuta Ajinembah, diantar oleh Pengurus Nomensen dan diterima oleh Pendeta Pantekosta Ajinembah (1971 ). Beliau mengemukakan bahwa leluhurnya berasal dari Ajinembah di rumah sendi, dan mengatakan “putih” dalam bahasa ibunya dengan “Mbulan”. (Penutur, penduduk Ajinembah, 2001 dalam buku Kenangan Marga Munthe, hal. 221).

“seperti bunyi surat yang ditulis sdr. Severre Munthe, bahwa seorang Munthe pakai huruf “h” atau tidak pakai huruf “h” masa koloni monopoli dagang, tinggal di kampung yang bernama Munte , bermasyarakat dan hidup turun temurun.” (dalam dok. Dame Munthe: “MUNTHE DARI NORWEGIA?”).

Tahun 1282 M diyakini menjadi tahun awal dimana munculnya satuan politik Aru(Haru/Karo), Artinya, ditahun ini-lah Haru(Aru) mulai secara luas dikenal(khususnya oleh bangsa Eropa) sebagai sebuah kesatuan politik(kerajaan/negeri), dan diyakini berdekatan dengan masa ini di pedalaman Samosir muncul sebutan Si Raja Batak. Hal ini sangat didukung oleh beberapa studi-studi etnisitas dan pengkajian sejarah Batak, yang mengatakan jikalau Si Raja Batak ini muncul pada awal abad ke-13 Masehi, tepatnya di gunung Pusuk Buhit(di P. Samosir) yang hidup bersamaan dengan masa Kerajaan Haru(Karo), Padang Lawas dan Pane(Mandailing Tua), Sriwijaya(Palembang), Majapahit(Jawa), Pagaruyung(Minang), dll. Ditinjau dari aspek ruang dan waktu, tentunya Si Raja Batak pastilah aktivis dari salah satu kerajaan tersebut diatas, atau bahkan biasa juga merupakan penentang dari kerajaan-kerajaan tersebut, hingga membuatnya harus mengungsi ke pedalaman di Samosir. Ada beberapa pendapat yang mengatakan, Si Raja Batak adalah gubernur dari raja Minang di Tapanuli, hal ini didukung oleh adanya patung yang menyerupai apa yang ada di Pagaruyung dan dipercaya patung tersebut memang dibawa dari kerajaan Pagaruyung. Dan, Si Raja Batak sendiri secara berkala mengirim upeti dan menerima utusan-utusan raja Pagaruyung dengan baik sebagai pembuktian setia dan pengabdianya kepada raja Pagaruyung. Namun, tidak jarang juga ahli dan budayawan yang mendukung teori bahwa Si Raja Batak adalah pejabat Sriwijaya di Portibi, Padang Lawas, dan Timur danau Toba(Simalungun) yang dikemudaian hari harus mengungsi ke pedalaman Samosir akibat serangan dari Majapahit, dan gelar raja sendiri diberikan oleh keturunannya kepadanya bukan karena kekuasaan, melainkan oleh karena teladan serta untuk mengenang jasa-jasanya.

Tahun 1331 M dibawah pinpinan Maha Patih Gajahmada kerajaan Majapahit menyerang Haru, tetapi gagal menaklukkan Haru, sehingga beberapa serdadunya yang tertinggal dan tertawan menjadi rakyat Haru dan masuk menjadi salah satu merga Peranginangin dengan sub-merga Peranginangin Jab.

Dalam Sejarah Majapahit sendiri, nama Haru berulang kali disebut-sebut, hal ini menjadi bukti akan kebesaran Kerajaan Haru di-zaman itu dan menjadi salah satu negara kuat yang susah untuk ditaklukkan oleh kerajaan terbesar di nusantara ini(Majapahit), membuat seorang maha patih menjadi resah dan mengikrarkan sumpah akan menaklukkannya. Kisah ini juga dengan jelas diceritakan dalam buku “Karo dari Jaman ke Jaman” karya pujangga terkenal India yang bernama Brahma Putro. Berikut petikan sumpah palapa dari Maha Patih Gajah Mada, Patih Amangkubhumi Majapahit.

Sumpah Palapa adalah suatu pernyataan/sumpah yang dikemukakan oleh Gajah Mada saat upacara pengangkatannya menjadi Patih Amangkubhumi Majapahit , tahun 1258 Saka (1336 M). Sumpah Palapa ini ditemukan pada teks Jawa Pertengahan Pararaton yang berbunyi, sebagai berikut:

Sira Gajah Mada patih Amangkubhumi tan ayun amuktia palapa, sira Gajah Mada: "Lamun huwus kalah nusantara isun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seran, Tañjung Pura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun amukti palapa".

Terjemahannya dalam bahasa Indonesia:

Beliau Gajah Mada Patih Amangkubumi tidak ingin melepaskan puasa. Ia Gajah Mada, "Jika telah mengalahkan Nusantara, saya (baru akan) melepaskan puasa. Jika mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, demikianlah saya (baru akan) melepaskan puasa".

Terjemahannya dalam cakap Karo:

Enda me Si Gajah Mada puanglima simbelin si la erngadi-ngadi erpuasa. Ia Gajah Mada, “Ndia enggo ngalahken nusantara, maka kami pengadi puasa. Adina pepagi enggo naklukken Gurun, Seram, Tanjung Pura, Karo, Pahang, Dampo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, bage me siterjadi maka pusa enda i pengadi.”

Sekitar tahun 1395 – 1435 Masehi, dimana Tuan Sipinangsori putra dari Jalak Karo yang berasal dari Aji Nembah(Karolanden/Taneh Karo) sekitar tahun 1428 M menetap di Raja Simbolon dengan menunggangi horbo(kerbau) Sinanggalutu. Dan, hal ini juga didukung oleh tradisi Dalimunte yang berkembang di Labuhan Batu, dimana diceritakan saat Si Munte dari Aji Nembah yang menunggangi “Kerbo Nenggala Lutu” ini membawa segenggam bibit kacang-kacangan yang disebut “dali” dan menanamnya kemudian tumbuh subur dan berbuah banyak, serta biji-bijian ini sangat disukai, sehingga para tetangga menawarkan barter dengan menyebut dali – Munté dengan maksud “kacang mu o, Muté ” atau “minta kacangmu o, Munté ”. Sehingga dikemudian hari para keturunannya dipanggil dengan Dalimunte.

Sejarah Dinasti Ming menyebutkan bahwa "Su-lu-tang Husin", penguasa Haru, mengirimkan upeti pada Cina tahun 1411 M. Setahun kemudian Haru dikunjungi oleh armada Laksamana Cheng Ho. Pada 1431 M Cheng Ho kembali mengirimkan hadiah pada raja Haru, namun saat itu Haru tidak lagi membayar upeti pada Cina. Pada masa ini Haru menjadi saingan Malaka sebagai kekuatan maritim di Selat Malaka. Konflik kedua kerajaan ini dideskripsikan baik oleh Tome Pires dalam Suma Oriental (disebutkan bahwa kerajaan Haru merupakan kerajaan yang kuat Penguasa Terbesar di Sumatera yang memiliki wilayah kekuasaan yang luas dan memiliki pelabuhan yang ramai dikunjungi oleh kapal-kapal asing. Dalam laporannya, Tomé Pires juga mendeskripsikan akan kehebatan armada kapal laut kerajaan Aru yang mampu melakukan pengontrolan lalu lintas kapal-kapal yang melalui Selat Malaka pada masa itu.) maupun dalam Sejarah Melayu. Dimana sebelumnya di tahun 1282 M Haru mengirim misi ke Tiongkok.

Dalam ekspedisi maritim Tionghua tahun 1413 M Ying-yai Sheng-lam, disebutkan “A-lu(Aru, Haru/Karo)” merupakan penghasil kemeyan; dan sumber Tionghua lainnya Hsing-ch’a Sheng Lam menyebutkan “A-lu” sebagai penghasil beras, kemeyam, bahan-bahan aromatik, kamper, dll.

Dalam Wu Pei Shih(Peta Cina, 1433 M) disebutkan, ketika armada Cina berlayar dari arah barat saat hendak kembali ke Cina, mereka melalui kerajaan-kerajaan sebagai berikut: Su Man Ta La(Samudra Pasai), Chu-Shui Wan(Lhok Seumawe), Pa Lu T’hou(Perlak), Kum Pei Chiang(Tamiang), Ya Lu(Haru/Karo), Tan Hsu(Pulau Berhala), dan seterusnya.

Januari dan November 1539 M, Haru diserang oleh Sultan Aceh Al Qadar(Sultan Alaidin Riyad Shah – I) dan kejadian ini dituliskan oleh Ferdinand Mandez Pinto yang merupakan seorang utusan Portugis saat mengunjungi Haru(Haru II/Deli Tua) dari Malaka setelah menempuh lima hari perjalanan hingga sampai di ibu negeri Haru II(Deli Tua).

Tahun 1511 M Haru diserang oleh Malaka namun tidak berhasi. Kemudian ditahun 1515 M Haru kembali diserang kali ini oleh Aceh dan Portugis namun juga tidak berhasil. Dan, para peneliti meyakini dimasa iniliah pusat kerajaan Haru benar-benar berpindah dari Teluk Haru(Langkat) ke Alé(Deli Tua).

Tahun 1590 M diyakini tahun berdirinya Kota Medan, yang dimana didirikan oleh seorang putra Karo bermerga Sembiring, yang bernama Guru Patimpus Sembiring Pelawi. Bersamaan dengan ini, ditahun 1594 M Seh Ngenana beru Sembiring Meliala atau lebih dikenal dengan sebutan Putri Hijau diangkan menjadi pemimpin(Ratu) Haru. Di masa-masa inilah dapat dikatakan masa-asa kritis Haru, dimana peperangan yang terus-menerus membuat wilayah Haru semakin terdesak ke pedalaman gugung(pegunungan Karo) dan melemahkan posisi Haru itu sendiri, maka ditahun 1632 M diyakini Haru(Alé) di Pesisir Pantai Timur Sumatera bagian Utara resmi takluk. Hal ini ditandai dengan pengangkatan Gocah Pahlawan menjadi Raja(Sultan) Deli. Dengan tegaknya Deli membuat supremasi Haru(Karo) di wilayah pesisir pantai timur benar-benar hilang, namun ada beberapa kerajaan urung Haru(Karo) yang masih tegak berdiri dan menjadi wilayah independen terbatas, seperti: Kerajaan Urung Serbanyaman(Sunggal) yang dipinpin oleh Datuk Sunggal ber-merga Karo-karo Surbakti, Urung Senembah yang dipinpin oleh merga Karo-karo Barus, Urung Hamparan Perak(Sepuluh Dua Kuta/XII Kuta) yang dipinpin oleh Sembiring Pelawi(keturunan Guru Patimpus Sembiring Pelawi/pendiri kota Medan), dan Urung Suka Piring yang juga dipinpin oleh seorang dari merga Sembiring Pelawi.

Dalam suratnya kepada Raja Portugal bertahunkan 1539 M Pero de Farida mengatakan Aceh telah menyerah Haru sebanyak dua kali, yakni di bulan Januari dan November 1539 M. Cornelius de Houtman dan Frederich de Houtman saat tiba di Aceh tertanggal 21 Juni 1599 mengutarakan beberapa kerajaan besar di Sumatera, diantaranya: Minangkabau, Pedir, Haru, dan Aceh. Di-tahun 1591 M Sultan Johor, Ali Jalal menumpas pasukan Aceh dan berhasil mengalahkanya di Haru yang dimana tahun 1612 M Aceh kembali menyerang balik, dilanjutkan denga serangan di tahun 1624 M yang menjadi titik runtuhnya kerajaan Haru di kawasan pesisir serta takluk kepada Aceh. Dengan demikian, kekuatan Haru hanya tinggal di-kawasan pegunungan Karo saja yang hingga kedatangan Belanda belum bisa ditaklukkan oleh kerajaan-kerajaan lainnya terkhususnya Aceh. Baru di-tahun 1908 M kolonial Belanda berhasil mengalahkan kerajaan Haru terakhir(Haru Kuta Buluh/Kesebayaken Kuta Buluh) dan menjatuhkan hukuman kurungan seumur hidup kepada Sibayak(raja) Haru Kuta Buluh, Sibayak Batiren(Pa Tolong). Dengan demikian seluruh wilayah Haru(Karo) telah takluk!

Dari penggalan-penggalan fakta sejarah diatas, maka kita dapat menarik beberapa kesimpulan, yang mungkin jika kita berpaling pada tradisi-tradisi yang ada(opini publik yang digiring baik sengaja atau tidak) akan terasa janggal, diantaranya:

1. Suku bangsa Karo telah lahir diawal bahkan sebelum memasuki tahun Masehi. Hal ini merujuk pada tahun-tahun yang diyakini berdirinya kerajaan Haru(Karo), setidaknya antara priode abat I hingga abad ke-6. Logika-nya, untuk membentuk ataupun mendirikan sebuah kerajaan besar, tidak-lah mungkin dalam waktu yang singkat, dengan ilmu pengetahuan yang minim, serta jumlah sumber daya manusia yang cukup. Dalam tradisi Karo, untuk membentuk satuan administrasi kuta(satuan/kerapatan dari beberapa kesain) saja harus setidaknya memiliki kelengkapan diantaranya seperti berikut:

- Terdiri dari beberapa kesain yang telah berkembang, sehingga nantinya akan disatukan(dinaikkan setatusnya) menjadi kuta.

- Memiliki rumah adat yang menjadi tempat tinggal dan pertemuan. Serta perangkat-perangkat dalam rumah adat ini juga telah terpenuhi, baik kebendaannya maupun organik(penghuni).

- Memiliki kesain(beranda desa/alun-alun) sebagai tempat pertemuan, bermain anak-anak, penjemuran dan penumpukan hasil tani terkhususnya padi. Dalam sebuah kuta, setidaknya harus memiliki satu kesain dan untuk kuta-kuta yang besar bahkan lebih dari tiga atau empat kesain.

- Memiliki jambur sebagai tempat pertemuan, lumbung pangan, tempat muda/i bercengkramah dan belajar, tempat memasak saat pesta, tempat lajang tidur dimalam hari, dan tempat pertandang(musafir/tamu) bermalam;

- Memiliki geriten sebagai tempat mengumpulkan/menyimpan tulang belulang leluhur yang dianggap sebagai tokoh/teladan di kuta tersebut;

- Memiliki peken(reba) sebagai tempat anggota kuta untuk menanam tanaman keras yang diana luasnya ditentukan oleh pertemuan baluren(lembah);

- Memiliki pendonen sebagai tempat mengubur zenajah anggota kuta;

- Memiliki perjuman yang merupakan berbatasan denga peken yang diperuntukkan bagi warga umum dan juga tanaman umum;

- Memiliki kerangen(hutan) sebagai pengimbang alam, pemasok udara, dan air segar bagi masyarakat desa yang dimana ada larangan untuk menebang pohon(hanya boleh mengambil ranting sebagai kayu bakar), disampin kerangen ada juga deleng rimbun raya dimana di hutan ini-lah baru diperbolehkan menebang kayu untuk memproduksi balok-balok besar untuk keperluan bangunan maupun untuk dijual;

- Memiliki barung yang merupakan tempat mengembalakan hewan jinak, berupa padang rumput yang luas namun terbatas atau bisa dikatakan lokasi peternakan alam;

- Memiliki Perjalangen yang merupakan padang rumput luas dan tak terbatas. Dimana hewan ternak bebas berkeliaran dan tidak digembalakan;

- Memilik tapin(MCK umum) yang minimal satu kuta harus memiliki dua lokasi tapin yang berjauhan, karena adanya adat rebu(tidak saling sapa) dalam adat Karo;

- Memiliki buah uta-uta sebagai tempat pemujaan atau persembahyangan bagi penganut ajaran Pemena(agama/kepercayaan Karo).

Itu-lah syarat yang harus dipenuhi untuk memperoleh setatus kuta! Itu masih dalam hal perangkat, belum lagi proses pendiriannya yang tentunya memakan waktu yang panjang. Bagaimana pula jika mendirikan sebuah kerajaan Urung ataupun Kesebayaken? Hm.. mungkin butuh waktu sekurang-kurangnya 100 tahun, bukan begitu? Jadi, sangatlah masuk akal jika Karo itu sudah ada diawal-awal atau bahkan sebelum memasuki tahun Masehi, mengingat masa pendirian dari kerajaan besar Haru(Karo).

2. Karo, telah ada saat masa kemunculan Si Raja Batak(abad ke-13). Maka, muncullah pertanyaan! Mungkinkan Karo juga keturunan dari Si Raja Batak yang dalam tradisi Batak(Toba) adalah nenek moyang seluruh bangsa Batak? Dimana notabene-nya Karo lebih tua dari Si Raja Batak! Jadi, dalam hal ini terbukti bahwasanya Karo bukan-lah keturunan dari Si Raja Batak, karena Karo lebih tua dari Si Raja Batak, atau setidaknya hidup kerajaan Haru(Karo) bersamaan dengan masa hidup Si Raja Batak, jadi dalam hal ini perlulah kiranya membangun logika berfikir dalam menyingkapi fakta sejarah, jangan lantas kita menerima begitu saja ataupun menjatuhkan vonis kepeda seseorang ataupun kelompok etnis atas dasar opini umum publik semata!

3. Karo = Haru = Aru = Alé = A-lu = Ya-lu = Ya lo = Carrow = Karau = Karaw = Haro = Harw = Haraw = Harladji = Harlanj = Haro-haro = Guru = Gori.

4. Kerajaan Haru Karo (Kuta Buluh) adalah kerajaan besar terakhir, setidaknya di Sumatera bagian Utara yang ditaklukkan oleh kolonial Belanda.

5. Silahkan simpulkan sendiri.
Sumber artikel : http://sopopanisioan.blogspot.com/


Asal Usul Masyarakat Karo

Berbicara mengenai bagaimana dan dari mana sebenarnya asal mula terbentuknya suku Karo, hingga saat ini kelihatannya masih perlu dikaji lebih dalam. Banyak pendapat yang disampaikan oleh para ahli dan tokoh, tetapi masih dalam perkiraan menurut legenda dan silsilah cerita lisan.

Menurutnya, leluhur etnis Karo berasal dari India Selatan berbatasan dengan Mianmar. Seorang Maha Raja berangkat dengan rombongan yang terdiri dari anak, istri (dayang-dayang), pengawal, prajurit, beserta harta dan hewan peliharaannya. Ia bermaksud mencari tempat baru yang subur dan mendirikan kerajaan baru. Tidak disebutkan kapan peristiwa itu terjadi, namun dikatakan seorang pengawalnya yang sakti bernama si Karo, yang kemudian kawin dengan salah satu putri Maha Raja yang bernama Miansari. Didalam perjalanan mereka diterpa angin ribut dan rombongan ini menjadi terpencar dan akibatnya ada yang terdampar dipulau (Berhala). Dalam peristiwa itulah si Karo dan Miansari berpisah dari rombongan yang terdiri dari tujuh orang. Menggunakan rakit kemudian rombongann sampai disebuah pulau yang diberi nama “Perbulawanen” yang berarti “perjuangan” yang sekarang dikenal sebagai daerah Belawan. Dari sana mereka terus menelusuri sungai Deli dan Babura dan akhirnya sampai disebuah gua Umang di Sembahe. Setelah beberapa waktu mereka tinggal didataran tinggi itu dan merasa cocok akhirnya mereka memutuskan untuk tinggal disana. Dan dari sanalah asal mula perkampungan didataran tinggi Karo.

Dari perkawinan si Karo (nenek moyang Karo) dengan Miansari lahir tujuh orang anak. Anak sulung hingga anak keenam semuanya perempuan, yaitu: Corah, Unjuk, Tekang, Girik, Pagit, Jile dan akhirnya lahir anak ketujuh seorang laki-laki diberi nama Meherga yang berarti berharga atau mehaga (penting) sebagai penerus. Dari sanalah akhirnya lahir Merga bagi orang Karo yang berasal dari ayah (pathrilineal) sedangkan bagi anak perempuan disebut Beru berasal dari kata diberu yang berarti perempuan.

Merga akhirnya kawin dengan anak Tarlon yang bernama Cimata. Tarlon merupakan saudara bungsu dari Miansari (istri Nini Karo). Dari Merga dan Cimata kemudian lahir lima orang anak laki-laki yang namanya merupakan lima induk merga etnis Karo, yaitu:

  1. Karo. Diberi nama Karo tujuannya bila nanti kakeknya (Nini Karo) telah tiada Karo sebagai gantinya sebagai ingatan. Sehingga nama leluhurnya tidak hilang. 
  2. Ginting, anak kedua 
  3. Sembiring, diberi nama si mbiring (hitam) karena dia merupakan yang paling hitam diantara saudaranya. 
  4. Peranginangin, diberi nama peranginangin karena ketika ia lahir angin berhembus dengan kencangnya (angin puting-beliung). 
  5. Tarigan, anak bungsu
Pada perkembangannya, keturunan merga membentuk sub-sub merga yang baru sehingga terdapat banyak merga-merga pada etnis Karo. Sub-sub merga ini berkembang akibat migrasinya para keturunan Nini Karo kedaerah lain, sebab kampung mula-mula semakin lama semakin padat, dan akibat terjadi perkawinan dengan etnis lain dari daerah lain.
Dikutip dari Buku : Orang Karo diantara Orang Batak , Hal 5 .Marthin L.Peranginangin 
(sumber : repository.usu.ac.id)
Sumber Artikel : http://limamarga.blogspot.com/



Sentabi :
Kepada Yth,

  1. Kalimbubu
  2. Sembuyak
  3. Anak Beru
  4. Ras Teman Meriah

Dengan hormat,

Dalam rangka dokumentasi dan sejarah Batiren Perangin-angin (Pa' Tolong - Sibayak Kutabuluh). Apabila ada info dan keterangan, literature, gambar dll berkaitan dgn Sibayak Kutabuluh ini mohon sudilah kiranya share atau melengkapi artikel ini agar dapat sesuai dengan keadaaan yang sebenarnya. Demikian disampaikan, mohon maaf apabila ada kekeliruan, kekhilafan kesalahan disengaja maupun tidak disengaja. Atas bantuannya sebelum dan sesudahnya kami ucapkan terima kasih.

Bujur ras Mejuah-juah kita kerina. Tuhan si Masu-masu kita kerina.

Hormat kami,
Moesa J Perangin-angin
(MJP)